Debat Publik Pilkada Way Kanan

Juni 23, 2010

Dalam beberapa bulan lagi rakyat Way Kanan akan melakukan hajatan politik bertajuk Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) langsung untuk kedua kalinya sejak kabupaten ini berstatus mandiri dari Kabupaten Lampung Utara. Dalam prosesi ini sudah tentu rakyat harus dilibatkan sebagai subyek, agar pesimisme dan apatisme publik sebagaimana banyak dikeluhkan tak terjadi (lagi).

Rakyat misalnya, butuh sebab logis untuk menjadi pemaaf, sebagaimana para kandidat kerap tersenyum sembari mengucapkan “Mohon Maaf Lahir Batin, Selamat Hari Raya” pada baliho yang banyak menghiasi kota, untuk kesalahan-personal yang tak pernah mereka buat. Rakyat tentu butuh sebab ideologis untuk memberi restu sebagaimana pinta para kandidat dalam poster: “Mohon Doa Restu dan Dukungan” yang ditempel di pohon turus jalan, sambil pura-pura lupa bahwa tindakan tersebut tak etis dan merusak ekologi. Rakyat juga perlu sebab teknokratis untuk merasa menjadi bagian dari pembangunan, sebagaimana kata para kandidat dalam spanduk: “Demi Rakyat,” atau “Sahabat Wong Cilik” yang kadang-kadang ditimpali secara anekdotik: rakyat siapa atau rakyat yang mana.

Bukan Kucing dalam Karung

Pilkada merupakan manifestasi demokrasi langsung yang paling dekat dengan publik, terutama karena antara calon pemilih dan calon kepala daerah memiliki kecenderungan saling mengenal. Namun impilkasi politik dari Pilkada adalah pembangunan daerah dalam lima tahun ke depan, sehingga mengenal calon saja tidak cukup. Publik perlu mengetahui lebih jauh visi pembangunan antarkandidat, agar kita tak mendengar lagi keluhan-skeptis: siapapun kepala daerahnya sama saja (dampaknya bagi publik).

Calon pemilih yang ideologis tentu membutuhkan perkenalan lebih intim, tak hanya mengenal nama dan wajah para kandidat. Publik membutuhkan visi pembangunan yang lebih menggigit, di samping idiom-idiom normatif pada banyak Pilkada yang berputar-putar pada isu pendidikan, kesehatan, pertanian atau ekonomi kerakyatan. Isu-isu ini masih sangat abstrak, sehingga publik membutuhkan gambaran yang lebih konkret bagaimana isu ini mewujud dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Pasangan Ahmad Heryawan dan Dede Yusuf dalam Pilkada Jawa Barat misalnya mengukir sejarah dalam kampanyenya karena mempublikasikan derivasi isu kampanye dalam “Draft Struktur APBD”. Isu kampanye sejatinya merupakan prioritas pembangunan yang direncanakan dalam lima tahun ke depan. Unit analisis paling sederhana dalam membaca bagaimana isu kampanye itu diimplementasikan adalah pada persentase dan struktur APBD. Prioritas dalam persentase APBD saja belum cukup, karena bisa saja isu prioritas mendapat porsi persentase APBD dalam jumlah yang besar namun peruntukannya digunakan untuk belanja pegawai, belanja perjalanan dinas, maupun pos-pos lain yang tak menyentuh langsung publik.

Karena itu struktur APBD perlu dicermati, kira-kira isu strategis dan prioritas pembangunan akan diderivasikan dalam Program dan Kegiatan (project) apa saja. Karena itu pula, setiap kandidat kepala daerah fardhu `ain hukumnya memahami struktur APBD daerahnya meliputi Pendapatan (PAD, Dana Perimbangan, Lain-Lain Pendapatan), Belanja Tidak Langsung (Belanja Pegawai, Bunga, Subsidi, Hibah, Bantuan Sosial, Bagi Hasil, Bantuan Keuangan, Belanja Tidak Terduga), Belanja Langsung (Belanja Pegawai, Modal, Barang dan Jasa), Pembiayaan (SILPA, Cadangan, Piutang, Utang, Penyertaan Modal), dan komposisi Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dalam Badan, Dinas, dan Kantor, yang akan menjadi pelaksana visi pembangunannya. Setiap kandidat juga dapat melengkapi preferensinya terhadap kaidah perencanaan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) yang berdimensi 20 tahun, agar dalam lima tahun masa kepemimpinannya visi pembangunan yang dilakukan sesuai kaidah perencanaan teknokratis.

Media Lokal

Agar publik memahami secara utuh visi pembangunan para kandidat, sosialisasi visi dan misi perlu dilakukan secara kontinu dan utuh. Baliho, poster dan spanduk tentu tak cukup untuk menguraikan gagasan para kandidiat yang tentu akan banyak dan komprehensif, mengingat pekerjaan rumah pembangunan Way Kanan juga tak sedikit. Sosialisasi visi dan misi misalnya dapat dilakukan dengan menggelar beberapa putaran debat publik dengan menghadirkan sejumlah panelis independen.

Partisipasi publik dapat didorong dengan memanfaatkan media lokal menyiarkan langsung acara debat publik, dengan pilihan waktu yang memungkinkan banyak diapresiasi publik, seperti malam hari. Way Kanan misalnya memiliki sejumlah radio lokal, seperti PT Radio Rapansa di Baradatu yang dapat menyiarkan langsung debat. Untuk memperluas partisipasi publik, debat publik dapat dimuat dalam Rubrik Laporan Khusus di koran regional seperti Lampost. Kita tentu tak perlu meragukan independensi Lampost, karena netralitas dan independensi sejatinya merupakan etika dasar jurnalisik. Beberapa waktu sebelumnya pemerintah kampung dapat memfasilitasi melalui pengumuman di tempat-tempat umum (seperti masjid), mengenai jadwal debat publik akan berlangsung. Debat publik ini bermakna strategis, karena di dalamnya tercakup fungsi politik sebagai sarana sosialisasi, pendidikan, artikulasi, rekruitmen dan agregasi politik.

Febrie Hastiyanto; Putera Way Kanan. Puisinya Sajak Seorang Pejoang yang Dikhianati Senapannya memenangi Lomba Cipta Puisi-Prosaik Krakatau Award 2009.

Dimuat Lampung Post, Rabu, 6 Januari 2010

Satu Tanggapan to “Debat Publik Pilkada Way Kanan”

  1. Mas Pandu Says:

    Apik Leee, tulisanmu……


Tinggalkan Balasan ke Mas Pandu Batalkan balasan