Keluarga Tot: Tafsir Penonton Pinggiran

Juli 8, 2011

Langit masih menyisakan tempias jingga saat saya bergegas menyusuri Jalan Cornel Simanjuntak. Sebentar lagi senja berganti malam. Saya duduk memandang langit bilangan Bulaksumur dari halte Transjogja. Masih ada waktu. Saya melirik pada orang-orang sebangku. Mungkin sebagian mahasiswa. Mengingatkan saya pada masa-masa manis dulu. Ya. Kali ini pun saya akan kembali menjadi ‘mahasiswa’, dan boleh membuat kenangan manis lagi, bukan?

Oleh sebab satu kesempatan memperdalam ilmu pada satu program short course, saya berkesempatan bermukim selama dua bulan di Jogja. Jadwal program cukup padat, simultan semenjak pukul 07.30 hingga 16.00. Materi yang diajarkan menyenangkan, menguliti teori-teori ekonomi pembangunan, sosiologi, pemerintahan, administrasi publik, dan perencanaan kota, dengan pemateri yang sebagian besar bergelar doktor atau master. Ditambah tugas hampir setiap hari, dan menjadi-jadi di akhir pekan. Bukan. Bukan. Saya tidak sedang mengeluh. Saya justru berbahagia, diberi kesempatan memperdalam ilmu (kembali), menjadi manusia akademik (lagi) sebagaimana mimpi saya selama ini.

Sudah tentu saya tidak ingin larut dalam program pembelajaran. Kesempatan berada di Jogja tidak setiap hari. Apalagi kini saya bermukim di kota yang jauh dari hiruk pikuk intelektualitas, seni, budaya, serta ruang-ruang olah nalar dan olah rasa yang lain. Malam hari saya mencoba mencuri-curi waktu, melenggang menjadi tamu (di kota) peradaban. Seperti malam itu. Menonton pentas Teater Gandrik di Concert Hall Taman Budaya Yogyakarta.

Saya bukan seorang penikmat teater yang mampu memaknai pentas dan lakon yang dimainkan di atas panggung. Saya seorang partisan saja. Tepatnya penggembira. Menonton teater bagi saya bukan sebuah kebutuhan khusus, bukan pula menjadi sesuatu yang dalam untuk dimaknai. Saya menonton teater nyaris semacam kebetulan saja. Mencari tontonan. Sambil sok-sokan memaknainya, seperti posting ini.

Karena tak memiliki latar belakang keteateran yang cukup, menonton teater saya maknai sebagai usaha untuk menjadi warga kebudayaan. Sokur bila dapat masuk menjadi bagian dari kelas menengah Indonesia—kalaupun ada—yang berduit, intelek, memiliki citarasa seni yang tinggi, absurd, ndakik-dakik, dan sophisticated. Macam teater, karya instalasi, atau seni rupa itulah. Saya tentu tak menyia-nyiakan kesempatan untuk menjadi tamu peradaban, dan mencoba masuk menjadi warga kebudayaan.

Transjogja sudah terlihat di kejauhan. Saya menghela nafas dalam-dalam sebelum naik, dan duduk rapi di sisi bus. Pendingin bus berjalan baik, sehingga saya merasa nyaman ketika ia memulai perjalanannya lamat-lamat. Ah, Jogja. Dan Gandrik. Saya tak mengenal banyak kelompok ini. Mungkin samar-samar pernah mendengar, dengan kuantitas dan kualitas informasi seperti yang anda miliki juga tentangnya. Saya hanya tahu bila Gandrik telah memosisikan dirinya sebagai kelompok teater ternama di republik ini. Beberapa kali pentasnya diulas dengan apik oleh berbagai media massa. Saya pura-pura mengerti ulasan-ulasan yang dituliskan. Namun saya tak pernah berkesempatan menontonnya. Maklumlah, saya bermukim di kota yang tak menjadi referensi dalam lalu-lintas kegiatan seni budaya di negara kesatuan ini. Sudah tentu saya tak menyia-nyiakan kesempatan pentas Gandrik kali ini. Tiketnya memang mahal, Rp. 100 ribu untuk kelas VVIP, Rp. 50 ribu untuk penonton VIP, dan Rp. 30 ribu bagi penikmat strata festival. Saya sudah mengantisipasi, untuk ukuran Gandrik tiket itu pastilah laku (keras), dan harus dipesan jauh hari agar tidak kehabisan. Karena waktu saya terbatas untuk memesan tiket terlebih dahulu, malam itu saya beranikan diri saja ke Taman Budaya. Saya memasrahkannya kepada nasib dan calo yang pastilah berpihak pada saat-saat genting.

Benar saja, tiket kelas festival sesuai kemampuan dompet saya telah habis. Tersisa kelas VVIP. Calo-calo berkeliaran di sela-sela penonton. Pura-pura berkelas, tidak menyodorkan-nyodorkan tiket dan intimidatif seperti kelakuan calo bus di terminal. Maklum saja, acara kebudayaan. Dan Gandrik. Dan Taman Budaya. Dan Jogja. Sederat nama besar. Dikira apa?

Saya dapat mengantongi tiket festival dengan harga nyaris dua kali lipatnya. Seorang teman pernah berteori: bila harga dapat negosiable di detik-detik akhir. Namun saya tak ingin mengambil risiko dan kehilangan momentum. Dengan menahan napas dan sedikit memejamkan mata saya meminta maaf dari dalam hati kepada istri yang saat itu sedang di rumah mertua. Program penghematan keluarga untuk sementara kita negosiasikan dulu. Karena budget-nya terhitung tidak ramah bagi kocek kami, saya berjanji pada diri sendiri untuk menontonnya dengan baik. Sedapat mungkin saya mematuhi etika menonton: tidak menyalakan handphone, duduk tertib, tidak membawa makanan dan minuman, tidak mengobrol, serta tertawa dan bertepuk tangan dengan cerdas, maksudnya tidak tertawa sendiri atau bertepuk tangan sendiri. Harus berkelas. Gandrik. Taman Budaya. Jogja. Dikira apa?

Saya beberapa kali melintasi Taman Budaya. Namun baru malam itu benar-benar memasukinya. Kelas festival di lantai tiga. Tiket disobek setengah, dan saya melangkah memasuki arena pertunjukan. Saya pura-pura tidak kaget, soalnya sejak berangkat ekspektasi saya arena teater paling bagus seperti yang saya bayangkan di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah di Solo: tempat duduk lesehan berundak, dan panggung persegi di lantai bawah. Concert Hall TBY membuat saya optimistis menjadi tamu peradaban dan warga kebudayaan, mudah-mudahan kesampaian menonton opera-opera di Sidney atau New York yang katanya menggetarkan itu.

Mata saya menyapu ruangan yang sederhananya: menyerupai bioskop. Saya menggigil, oleh sebab keluguan dan terutama oleh pendingin ruangan. Saya pura-pura tidak kaget, karena saya membayangkan gedung kesenian ini pastilah gerah disesaki asap rokok dan penonton yang lecek, belel, jarang mandi namun bersemangat api. Saya menoleh ke kiri-kanan, menyembunyikan kegugupan. Saya salah lagi. Sambil berjalan diantar panitia yang tampak terorganisir dan profesional saya mengamati pengunjung yang dari penampilannya menunjukkan kelasnya. Saya melirik taman parkir, mobil berderet-deret. Banyak yang menonton bersama keluarga, dan anak-anaknya. Bergembira, berkelas, berkesan intelektual. Jauh dari ekspektasi saya pada teater yang rumit, mbuh, berat, dan tak terjangkau kapasitas nalar saya. Saya kemudian sadar, teater kini sedang mencari bentuk dan menentukan kedudukannya dalam budaya populer kita.

Tak menunggu lama—dan ini sudah menyalahi hukum pertunjukan di republik ini yang tak tepat waktu—pentas dimulai. Diawali oleh gambaran dari pakeliran pada latar panggung. Adegan pertempuran, ledakan bom, prajurit, tank, pesawat, dan iringan musik yang apik dari Djaduk Ferianto dan kawan-kawan membuat saya membutuhkan beberapa waktu untuk mengatakan bahwa ini tak lain dan tak bukan adalah manisfestasi dari wayang. Wayang, kesenian kita yang kian hari memudar tergerus jaman. Saya menjadi menyesal, tak pernah sekalipun menonton pagelaran wayang hingga tuntas. Saya menyesal belum dapat menikmati wayang, sebab bahasa pengantarnya dalam bahasa daerah, sebab durasi pentasnya yang tak sebentar, sebab wayang pun dapat dikemas menarik namun tidak pernah dilirik dalang kita. Saya mencoba pura-pura mengangguk-angguk pertanda mengerti seni. Bila Mahabarata tak in hari ini, mengapa tak dikemas cerita lain. Cerita-cerita hari ini yang filmis, sebenarnya sangat dekat dengan wayang. Beberapa dalang bereksperimen: wayang Pancasila, wayang pembangunan, wayang religius. Wayang pun (ternyata) dapat dikemas tak meninggalkan jamannya. Slamet Gundono mengawali dengan wayang suket. Namun belum cukup, karena ia seringkali pentas tanpa pakeliran. Padahal jiwa wayang ternyata kelir, yang membayang, dan membentuk wayang. Saya mengangguk-angguk berhasil mengerti rahasia wayang diajari oleh pembukaan pentas Gandrik yang tak lebih dari lima menit itu.

Lakon dimulai. Bertajuk Keluarga Tot buah karya Istvan Orkeny, seorang berkebangsaan Hongaria yang menghabiskan hidupnya saat dunia berperang antara 1939-1945. Mementaskan lakon karya orang lain bukanlah tradisi Gandrik. Gandrik sejak memulai debutnya dalam Festival Pertunjukan Rakyat Yogyakarta tahun 1985—meskipun secara resmi Gandrik berdiri sejak 1982—selalu mementaskan naskah yang ditulis oleh awaknya sendiri. Bila teater ditipologikan dalam tiga mainstream: realis, Yunani-klasik, dan tradisi, Agus Noor mengelompokkan Gandrik sebagai teater yang membangun karakternya bersumber pada tradisi yang dalam bahasa Kirjomulyo disebut Teater Sampakan.

Kedudukan Gandrik dalam konstelasi teater tanah air sudah tidak diragukan lagi. Selain penguasaan teknik keteateran yang telah mumpuni, Gandrik memiliki karakteristik yang meringankan langkah saya untuk menonton: improvisasi yang kuat. Dan improvisasi yang kuat a la Gandrik dapat disederhanakan sebagai satire cara Jawa yang komedis. Dalam konstelasi teater kita, hanya Gandrik dan Koma yang membebaskan improvisasi komedis dalam pentas-pentasnya. Komedi pula yang membuat kedua teater ini membumi, setidaknya bagi penonton bertipologi seperti saya: tak ingin berpanjang-panjang soal psikologisme, makna setting, satire sosial filosofis, dan mbuh-mbuh yang lain.

Menonton Gandrik laiknya menonton Srimulat. Dengan guyon parikena, pisuhan, dan ini yang paling menarik saya kira: menertawai diri sendiri. Banyak lawakan saat ini yang menertawakan (kekurangan) orang lain sebagai jualan. Tukul dan Komeng dapat menjadi contoh yang baik dari masing-masing kuadran ini. Gandrik berbeda dengan Koma yang mengusung satire dalam bahasa yang lebih menasional. Menonton Gandrik serupa menonton Srimulat, yang kejawaannya meluber, menonton Koma kira-kira seperti menonton Bagito, dengan bahasa yang lebih nasional.

Menonton Gandrik juga berarti menyiapkan diri untuk menertawai diri sendiri. Dibutuhkan tingkat toleransi dan kadar kecerdasan kontekstual tertentu untuk memahami Gandrik. Pertama, tentu saja, bahasa ibu. Penonton yang tak menguasai Bahasa Jawa dengan baik akan gigit jari. Ada distorsi yang besar, yang tak mampu dijembatani dengan sekedar mentransliterasi bahasa ibu ke bahasa nasional bagi penonton yang tak dapat berbahasa Jawa. Tak ada tawar menawar soal ini. Dan Gandrik tampak asyik dengan realitas ini. Gandrik tak berupaya menasionalkan cita rasa kebahasaannya karena itu sama saja dengan mengubur karakter Gandrik atau Gandrikisme.

Kedua, kecerdasan kontekstual. Komedi Gandrik adalah komedi kontekstual. Misalnya ketika Tukang Pos (Whani Darmawan) melawak dengan membawa-bawa nama ‘Johanes, seorang minoritas teman dik Sindhu, anak Kotabaru. Tukang ngombe yang nyambi jadi pastor’ tentulah merujuk pada Sindhunata, pastor Katolik yang juga Pemimpin Redaksi Majalah Kebudayaan Basis. Atau saat Profesor Cipriani (Butet Kartaredjasa) yang nyeletuk: ‘Gambar celeng yang (berharga) milyardan’ tentulah merujuk lukisan Berburu Celeng karya Djoko Pekik alumnus Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang dilego Rp. 1 Milyar pada tahun 1998.

Tak terasa tiga jam Lajos Tot (Susilo Nugroho), Mayor (Heru Kesawa Murti), Mariska Tot (Dyah Arum), dan Agika Tot (Jami Atut Tarwiyah) melakonkan Keluarga Tot dengan spirit Gandrikisme. Lakon yang konon realis—sehingga dapat kita sederhanakan sebagai berat, dan mbuh—digubah oleh Heru Kesawa Murti dan Agus Noor dengan elok. Properti dan desain grafis yang dirancang Ong Harry Wahyu—yang namanya juga hampir ditulis pada setiap sampul buku terbitan Jogja karena ia pula yang mendesain—benar-benar fungsional. Pertunjukan Gandrik nyaris tanpa cela, karena yang tercela adalah calo-calo yang mengkapitalisasi kesenian yang setengah mati dihidupkan Gandrik. Namun kiranya calo adalah anak sah kebudayaan kita, seperti anda, dan juga (mudah-mudahan) saya.

Pukul 23.15 pertunjukan usai. Penonton mengulum senyum melenggang ke dalam mobil berpendingin udara di parkiran, atau men-start-er motornya. Saya berjalan pelan-pelan. Pengemudi dan pramugari Transjogja tentu sedang bercengkerama dengan keluarganya menunggu esok pagi menyapa jalanan Jogja. Tak apa. Saya tak memilih bernegosiasi dengan sopir taksi, pun pak becak. Saya memilih berjalan kaki. Melintasi Malioboro dalam keadaannya yang paling polos: lengang dan lapang. Di trotoar gudeg, krecek sambel goreng, dan rupa-rupa bacem digelar. Saya berterimakasih karena merasa nyaman dan aman dengan keberadaannya.

Tugu Pal Putih sudah saya lewati. Langit Jogja bersih, entah hitam entah biru. Saya tak merasa sendiri, pak becak mengobrol atau terkantuk-kantuk di pinggir jalan. Sekelompok anak muda—ah, pastilah mahasiswa—bergerombol mengambil gambar di Tugu. Memotret. Cekikikan. Menggoda temannya yang terduduk lesu—mungkin habis bertengkar dengan pacar, atau nilai ujiannya jeblok sebab bolos berkali-kali dan masih (menjaga) idealis(menya) untuk tidak mencontek. Berbahagialah sahabat, gumam saya dalam hati. Saya terus melangkah meninggalkan hiruk pikuk Jogja. Membayangkan wajah istri saya yang sedang pulas, memeluk perutnya yang mblenduk kini—buah hati kami. Saya tak sabar tiba. Mengajak ia turut serta, dengan buah hati kami—amien, mudah-mudahan kelak—untuk menjadi warga kebudayaan. Tak hanya menjadi tamu peradaban. Apalagi yang datang tak diongkosi, dan pulang berjalan kaki.

Dikira apa?

Jogja, Medio 2009.

Febrie Hastiyanto; Peminat teater.

Dimuat Horisononline, Senin 4 Juli 2011.

 

Tinggalkan komentar